Jan Tuheteru, S. Pi (Pemerhati Sektor Perikanan dan Kelautan Indonesia) |
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Terbentang dari Sabang hingga Merauke, NKRI memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan. Dengan luasnya wilayah laut yang ada, Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar.
Perikanan menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan nasional. Data yang di keluarkan oleh KKP Pada tahun 2019 menunjukan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp 73.681.883.000 dimana nilai tersebut naik 10.1% dari hasil ekspor tahun 2018. Hasil laut seperti udang, tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut merupakan komoditas yang dicari. Namun hal ini tidak Koheren dengan kondisi nelayan dewasa ini.
Tahun 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yang sebesar 4 persen. Dari seluruh kemiskinan nasional yang mencapai 10,86 juta jiwa itu, sekitar 1,3 juta jiwa atau 12,5 persen berada di wilayah pesisir.
Pemerintah terkhusus nya Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak melihat kondisi ini sebagai permasalahan yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam. Namun lebih memilih untuk terus mendorong kebijakan penangkapan terukur yang jelas-jelas tidak pro terhdap nelayan Indonesia.
Jika di lihat lebih lanjut, kondisi nelayan Indonesia sangatlah kompleks mulai dari kemiskinan, tingkat pendidikan bagi para nelayan kecil, infrastruktur, BBM dan masih banyak lainnya. Namun hal ini seolah tidak di lihat oleh instansi sebesar KKP.
*Membedah Perppu Ciptaker relasi Kebijakan Penangkapan Terukur*
Jika di tinjau kebijakan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja Nomor 2 tahun 2023 yang secara notabene banyak menuai penolakan dari berbagai unsur karena mengandung banyak permasalahan dan tidak pro kepada rakyat. Senada permasalahan tersebut juga merambat pada sektor perikanan.
Orientasi kebijakan ini jelas pada privatisasi dan eksploitasi sumber daya ikan yang ada dan mengarah pada upaya marjinalisasi nelayan indonesia, dan kerusakan lingkungan.
Secara substansi Perppu cipta kerja pada pasal 27 telah menghapus "skala ukuran kapal" dalam defenisi nelayan kecil. Jika ini dilakukan maka akan terjadi perebutan komoditi antara nelayan kecil dan pemodal besar (asing), maka sudah pasti nelayan kecil akan kalah dan teralienasi dari wilayah produksinya (Fishing Ground).
Pasal 27 Perppu Cipta Kerja telah menghapus Pasal 1 ayat (16), ayat (17) dan ayat (18) UU Perikanan, yang kemudian menghapus SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Pasal 27 Perppu Cipta Kerja telah mengubah Pasal 27 UU Perikanan, di mana SIUP, SIPI dan SIKPI digantikan dengan “Perizinan Berusaha”. Jelas terjadi sentralisasi perizinan ke pusat sehingga wilayah provinsi dan kabupaten tidak memiliki wewenang apapun dalam kebijakan ini. Secara subyektif hal tersebut dapat melanggengkan praktek korupsi terjadi di lembaga pemerintah.
Pasal 27 Perppu Cipta Kerja telah mengubah Pasal 30, di mana ayat (1) menyebutkan, pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian.
Telah jelas bagaimana arah kebijakan ini, dimana keuntungan kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan segelintir elit. Olehnya itu maka kebijakann penangkapan ikan terukur perlu ini perlu di batalkan.